Meski banyak nama yang saling
menggantikan,anggota Walisongo yang paling akrab di telinga masyarakat
dan saling sering menjadi objek ziarah tetap saja berjumlah
sembilan.Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim,Sunan Ampel,Sunan
Bonang,Sunan Giri,Sunan Drajad,Sunan Kalijaga,Sunan Kudus,Sunan
Muria,dan Sunan Gunung Jati.
Mereka inilah yang dianggap paling banyak
meninggalkan jejak sejarah di tanah Jawa.Termasuk beberapa tradisi
keagamaan yang bercorak Suni dan bermazhab Syafi’i.Bahkan Indonesia dan
beberapa negara tetangganya kemudian menjadi basis mazhab yang berasal
dari Mesir tersebut.Ini tidak lepas dari pengaruh Kesultanan
ayyubiyyah,penganut fanatic mazhab Syafi’I,yang ketika itu berjaya di
Mesir.Kesultanan ini pula yang mengubah paham teologi Universitas
Al-azhar,Kairo dari Syi’ah menjadi Suni.Ini terlihat dari tradisi
Maulidan,yang menurut sejarahnya diprakasai oleh Sultan shalahudin
Al-ayyubi sebagai penggugah semangat keislamian pasukan dan rakyatnya.
Setelah Dinasti Fathimiyah di Mesir
ditumbangkan oleh Sultan Shalahudin al-ayyubi pada 577 H/1157
M,dimulailah pengiriman sejumlah mubalig bermazhab Syafi’i ke Asia
Tenggara.Kerajaan Ayyubiyah berkuasa di Mesir selama 52 tahun,kemudian
digantikan olej Kerajaan Mamalik sampai akhir abad ke-9 H atau permulaan
abad ke-14 M,yang meneruskan tradisi pengiriman para mubalig.
Kedua kesultanan tersebut adalah penganut
paham Ahlusunah Waljamaahbermazhab Syafi’I,dan sangat gigih.Para
mubalig yang dikirim oleh Dinasi Ayyubiyyah dan Mamalik bertebaran ke
seluruh pelosok dunia,termasuk ke Indonesia.Di antara para mubalig Islam
dari Kesultanan Mamalik,misalnya,Ismail Ash-Shiddiq yang dating ke
Pasai mengajarkan Islam mazhab Syafi’i.Berkat dakwah tersebut,kaum
muslimin di Pasai kembali menganut mazhab Syafi’i.dan sejak itu para
sultan Pasai pun menjadi penganut mazhab Syafi’i yang taat.
Ismail Ash-Shiddiq juga berhasil
mengangkat Merah Silu,orang Malaka atau Indonesia asli,menjadi Sultan di
Pasai ( 1225-1297 M) dengan gelar Al-Malikush Shalih.Berkat pengaruh
Sultan Malikush Shalih,para sultan Islam di Malaka,Sumatera Timur dan
Jawa berbondong-bondong menganut mazhab Syafi’i.Itu terjadi sekitar abad
ke-7 Hijriah.Sejak 1441 M sampai 1476 M (820-855 H),Sultan Manshur Syah
I,penganut mazhab Syafi’i yang tangguh,berkuasa di Malaka.Ia sempat
mengutus para mubalig yang bermazhab Syafi’i ke Minangkabau Timur yang
sudah lama di tinggalkan oleh orang-orang yang bermazhab Syi’ah sesudah
dikalahkan oleh Majapahit pada 1399 M.Berkat perjuangan para mubalig itu
pula mazhab Syafi’i berkembang kembali di Minangkabau Timur.
Kemudian dari Minangkabau Timur mazhab
Syafi’i berkembang ke Tapanuli,muara Sungai Asahan dan Simalungun.Para
mubalig mazhab syafi’i juga merambah sampai ke Makassar dan
Bugis,bahkan sampai ke pulau-pulau di Fillipina Selatan.Pada abad ke-15
M,atau abad ke-9 H,Kesultanan Samudera Pasai di Aceh dan malaka sangat
aktif mengembangkan Islam mazhab Syafi’i ke Jawa,teutam Demak dan
Cirebon.Itulah sebabnya umat Islam di Jawa juga bermazhab Syafi’i.
Ngelmu Lempit Bumi
Jadi,meski Jawa sudah bersentuhan dengan
Islam sejak abad pertama Hijriah (abad ke 7 M),gelombang dakwah Islam
secara besar-besaran di Jawa baru terjadi pada abad ke-15 M.Di sinilah
figure Walisongo,sebagaimana dikisahkan dalam babad dan sebagian sastra
lisan,selalu dihubungkan dengan kekuatan gaib yang
dahsyat.Misalnya,mampu berjalan sangat cepat atau yang lazim disebut
memiliki ngelmu lempit bumi (ilmu melipat bumi) yang sejak kecil
dimiliki oleh Raden Paku atau Sunan Giri.Ilmu hampir sejenis,yaitu ilmu
menembus bumi,juga dimiliki Sunan Kalijaga.Dan masih banyak lagi.
Kesaktian Walisongo yang sebenarnya ialah
kearifan dan kebijaksanaannya dalam menerapkan pola dakwah.Ada empat
jurus utama sebagai kunci keberhasilan dakwah
walisongo.Pertama,tasamuh(toleran).Ketika itu Jawa sebagai medan dakwah
bukanlah kawasan yang bebas nilai dan keyakinan.Sebaliknya,ketika para
mubalig berdatangan,Jawa adalah pusat lingkaran budaya Hindu dan Budha
yang terbesar di Asia Tenggara,di mana nilai-nilai keyakinan dan budaya
telah mengakar dengan kuat di hati masyarakat.
Belum lagi tantangan berupa nilai-nilai
local masyarakat Jawa,yang kemudian beralkuturasi dengan budaya
Hindu-Budha dan membentuk sebuah kearifan batiniah yang
unik.Maka,dibutuhkan sebuah kearifan tersendiri jika hendak mengadakan
sebuah renovasi kebudayaan.Walisongo,yang memang berasal dari kultur
sufi’,sangat memahami pendekatan macam apa yang dibutuhkan untuk
merangkul masyarakat Jawa.Perbedaan besar antara antara Islam dan
Hindu-Budha tidak lantas menciptakan jarak antara generasi awal
Walisongo yang berasal dari Arab dan masyarakat lokal.Dengan toleransi
yang cukup tinggi,secara perlahan para wali meleburkan diri dalam
kehidupan bermasyarakat.
Para Wali menjadi tempat mengadu bagi
masyarakat yang tengah dalam kesulitan besar akibat perang saudara yang
tak kunjung usai di Kerajaan Majapahit.Tanpa memandang perbedaan agama
dan keyakinan,mereka dengan cara masing-masing,turun tangan membenahi
dan melindungi masyarakat kecil.Empati dan keberpihakan ini yang
kemudian menimbulkan simpati masyarakat terhadap para wali,dan
belakangan pada ajaran yang dibawanya.
Kedua,tasawuth(moderat,tidak
ekstrim).Ajaran Islam yang turun di Jazirah Arab,tentu mempunyai kultur
yang sangat berbeda dengan kultur masyarakat Jawa.Namun,perbedaan cara
pandang tersebut tidak serta merta dilawan dan diberangus secara
ekstrem.Sebaliknya,para wali justru ngemong dan membiarkan masyarakat
melakukan tradisi-tradisi yang sudah berabad-abad mereka lakoni sambil
perlahan-lahan mewarnainya dengan nuansa keislaman.Maka,di Jawa
khususnya dan Indonesia umumnya,kita mengenal ritus-rutus yang tidak
terdapat di Timur Tengah.Tradisi peringatan nelung dina(peringatan hari
ketiga kematian),mitung dina (hari ketujuh kematian),dan
seterusnya,merupakan warisan budaya Hindu Jawa.Oleh para wali,tradisi
itu tidak ditentang,namun diwarnai dengan nuansa keislaman.Bersamaan
dengan itu pembacaan mantra dan puja-puji bagi roh leluhur diganti
dengan tahlil dan mendoakan untuk orang yang meninggal serta umat Islam
secara keseluruhan.
Denag demikian,secaraperlahan dan
non-violence(tanpa kekerasan),ritus-ritus yang sarat kemusyrikan dig
anti alunan dzikir dan do’a.Perubahan secara damai ini secaraperlahan
juga menumbuhkan culture of peace(budaya damai) di hati umat islam di
Jawa.Ketiga,tawazun (keseimbangan atau harmoni).Di antara ciri khusus
kultur masyarakat Jawa dan Nusantara pada umumnya,adalah kecenderungan
kepada harmoni.Bagi orang Jawa,kultur harmoni sangat mendarah
daging.Orang Jawa sangat tidak suka dengan gejolak sekecil apa
pun,terlihat dari kecenderungan untuk selalu mengalah dan nrima ing
pandum (menerima apa yang di tentukan Allah).
Maka,mau tak mau upaya perubahan terhadap
masyarakat Jawa harus mempertimbangkan harmoni tersebut.Dengan pola
pendekatan sufistis seperti itu( lebih mengutamakan sisi esoteris dalam
beragama ketimbang sekedar penegakan syariah) proses Islamisasi pun
berjalan dengan damai,tanpa gejolak yang berarti.
Keempat,iqtida’ (keberpihakan pada
keadilan).Meski bangga menjadi anggota mesyarakat dari sebuah kerajaan
besar,rakyat majapahit yang menganut agama Hindu tetap saja mempunyai
ganjalan besar,yaitu diskriminasi cultural yang disebut kasta.Sistem
kasta ini secara perlahan menciptakan kesenjangan social antar
masyarakat.Terlebih ketika pecah konflik antar keluarga kerajaan yang
berujung pada maraknya kerusuhan kezaliman,dan kemiskinan.Dalam situasi
seperti itulah walisongo masuk memperkenalkan Islam yang
egaliter.Prinsip kesetaraan dan keadilan yang di usung oleh agama baru
itu kontan meraih simpati masyarakat,yang kemudian berbondong-bondong
memeluk Islam.Dalam Islam,masyarakat Jawa menemukan ketenangan yang
mereka cari-cari selama ini,katakanlah perlindungan spiritual dan
cultural.
Strategi lain yang oleh para sejaraan
dipandang cukup efektif dalam proses Islamisasi Jawa ialah dakwah
politik.Dalam menjawab pertanyaan sarjana Amerika,Marshal
Hodgon,pengarang buku The Venture or Islam,mengapa proses Islamisasi di
Jawa begitu berhasil sempurna?Mark Woodward dalam Islam in Java :
Normative Piety and Mysticism in the Sultanate or Yogyakarta
menjawab,Islam berkat dakwah Walisongo telah dipeluk oleh keratin
Jawa,sehingga seluruh rakyat mengikutinya.
Melalui Raden Patah( putra Prabu
Brawijaya V),Sunan Ampel (kemenakan permaisuri Majapahit),Sunan
Giri(cucu Raja Wilwatika),dll, Islam masuk ke lingkungan kerajaan.Ini
berbeda dengan pengalaman dakwah di Asia Selatan,di mana proses
Islamisasi mengalami benturan hebat karena berhadapan dengan para
bangsawan secara frontal.
Demikianlah,dengan berbagai
kesaktiannya,walisongo berhasil menggelar sebuah “revolusi peradaban” di
Jawa.Maka,jika saat ini ada keinginan untuk mengembalikan kejayaan
Islam di Indonesia,mungkin salah satu alternative strategi yang harus di
pertimbangkan adalah menggunakan jurus-jurus sakti para wali tersebut.
0 komentar:
Posting Komentar