Pages

Sabtu, 30 Juni 2012

puisi sinta pilihan


Inilah Cinta (Jalaluddin Rumi)

Inilah cinta, membumbung ke langit

Setiap saat mengoyak seratus cadar

Mula-mula, mengingkari hidup

Akhirnya, melangkah tanpa kaki

Menganggap dunia ini tak tampak

Sepi semua yang muncul di benak

”O, jiwa,” kataku, ”Semoga kau berbahagia

Memasuki negeri orang-orang tercinta

 

Memandang daerah yang tak tercapai mata

Menyusup ke dalam lekuk liku dada!

Dari mana datangnya nafas ini, o jiwa

Dari mana pula asal denyut jantung, o hati?

Burung, bicaralah dengan bahasa burung

Kutahu artinya yang terselubung

Jiwaku pun menyahut, ”Aku berada di pabrik

Yang sedang mengolah air dan tanah liat

Aku pun melepaskan diri dari sana

Ketika sedang diciptakan

Waktu tak kuat lagi aku bertahan, mereke menyeretku

Dan menuangku

Sehingga bagaikan bola bentukku.”



D o a Amir Hamzah

Dengan apakah kubandingkan pertemuan kita, kekasihku?

Dengan senja samar sepoi, pada masa purnama meningkat naik

setelah menghalaukan panas payah terik

Angin malam menghembus lemah, menyejuk badan, melambung

rasa menayang pikir, membawa angin ke bawah kursimu

Hatiku terang menerima katamu, bagaikan bintang memasang lilinnya

Kalbuku terbuka menunggu kasihmu, bagai sedap malam menyirak kelopak

Aduh, kekasihku, isi hatiku dengan katamu, penuhi dadaku dengan cahaya,

biar bersinar mataku sendu, biar berbinar gelakku rayu

Padamu Jua (Amir Hamzah)

Habis kikis

Segala cintaku hilang terbang

Pulang kembali aku padamu

Seperti dahulu

Kaulah kandil kemerlap

Pelita jendela di malam gelap

Melambai pulang perlahan

Sabar, setia selalu

Satu kekasihku

Aku manusia

Rindu rasa

Rindu lupa

Di mana engkau

Rupa tiada

Suara sayup

Hanya kata merangkai hati

Engkau cemburu

Engkau ganas

Mangsa aku dalam cakarmu

Bertukar tangkap dengan lepas

Nanar aku gila sasar

Sayang berulang padamu jua

Engkau pelik menarik angin

Serupa dara di balik tirai

Kasihmu sunyi

Menunggu seorang diri

Lalu waktu – bukan giliranku

Mati hari – bukan kawanku…

Amir Hamzah

Penyair Melayu Kemala

kutatang cinta

anak melayu

nestapa bergulung air mata

wajah merajahi diri

di jalan kembali

Tanjung Pura kota sepi

Makan dan Masjid Azizi

hanya tatap doa menuntun

dan mantap bunga santun

sebelum senja di Tanjung Pura

Amir dan Kemala bertukar Seloka

Antara kasih dan maut

cakaran hanya memagut

Walau (Sutardji Calzoum Bachri)

1979

walau penyair besar

takkan sampai sebatas allah

dulu pernah kuminta tuhan

dalam diri

sekarang tak

kalau mati

mungkin matiku bagai batu tamat bagai pasir tamat

jiwa membumbung dalam baris sajak

tujuh puncak membilang bilang

nyeri hari mengucap ucap

di butir pasir kutulis rindu-rindu

Walau huruf habislah sudah

Alifbataku belum sebatas allah

Ibunda (WS Rendra)

Engkau adalah bumi, Mama

aku adalah angin yang kembara

Engkau adalah kesuburan

atau restu atau kerbau bantaian.

Kuciumi wajahmu wangi kopi

dan juga kuinjaki sambil pergi

kerna wajah bunda adalah bumi

Cinta dan korban tak bisa dibagi.

AKAN KE MANAKAH ANGIN (Emha Ainun Nadjib)

Akan ke manakah angin

Tatkala turun senja yang muram

Kepada siapa lagu kuangankan

Kelam dalam kabut, rindu tertahan

Datanglah engkau berbaring di sisiku

Turun dan berbisik dekat di batinku

Belenggulah s’luruh tubuh dan sukmaku

Kuingin menjerit dalam pelukanmu

Sampai manakah berarak awan

Bagi siapa mata kupejamkan

Pecah bulan dalam ombak lautan

Dahan-dahan di hati bergetaran

0 komentar:

Posting Komentar

Sabtu, 30 Juni 2012

puisi sinta pilihan


Inilah Cinta (Jalaluddin Rumi)

Inilah cinta, membumbung ke langit

Setiap saat mengoyak seratus cadar

Mula-mula, mengingkari hidup

Akhirnya, melangkah tanpa kaki

Menganggap dunia ini tak tampak

Sepi semua yang muncul di benak

”O, jiwa,” kataku, ”Semoga kau berbahagia

Memasuki negeri orang-orang tercinta

 

Memandang daerah yang tak tercapai mata

Menyusup ke dalam lekuk liku dada!

Dari mana datangnya nafas ini, o jiwa

Dari mana pula asal denyut jantung, o hati?

Burung, bicaralah dengan bahasa burung

Kutahu artinya yang terselubung

Jiwaku pun menyahut, ”Aku berada di pabrik

Yang sedang mengolah air dan tanah liat

Aku pun melepaskan diri dari sana

Ketika sedang diciptakan

Waktu tak kuat lagi aku bertahan, mereke menyeretku

Dan menuangku

Sehingga bagaikan bola bentukku.”



D o a Amir Hamzah

Dengan apakah kubandingkan pertemuan kita, kekasihku?

Dengan senja samar sepoi, pada masa purnama meningkat naik

setelah menghalaukan panas payah terik

Angin malam menghembus lemah, menyejuk badan, melambung

rasa menayang pikir, membawa angin ke bawah kursimu

Hatiku terang menerima katamu, bagaikan bintang memasang lilinnya

Kalbuku terbuka menunggu kasihmu, bagai sedap malam menyirak kelopak

Aduh, kekasihku, isi hatiku dengan katamu, penuhi dadaku dengan cahaya,

biar bersinar mataku sendu, biar berbinar gelakku rayu

Padamu Jua (Amir Hamzah)

Habis kikis

Segala cintaku hilang terbang

Pulang kembali aku padamu

Seperti dahulu

Kaulah kandil kemerlap

Pelita jendela di malam gelap

Melambai pulang perlahan

Sabar, setia selalu

Satu kekasihku

Aku manusia

Rindu rasa

Rindu lupa

Di mana engkau

Rupa tiada

Suara sayup

Hanya kata merangkai hati

Engkau cemburu

Engkau ganas

Mangsa aku dalam cakarmu

Bertukar tangkap dengan lepas

Nanar aku gila sasar

Sayang berulang padamu jua

Engkau pelik menarik angin

Serupa dara di balik tirai

Kasihmu sunyi

Menunggu seorang diri

Lalu waktu – bukan giliranku

Mati hari – bukan kawanku…

Amir Hamzah

Penyair Melayu Kemala

kutatang cinta

anak melayu

nestapa bergulung air mata

wajah merajahi diri

di jalan kembali

Tanjung Pura kota sepi

Makan dan Masjid Azizi

hanya tatap doa menuntun

dan mantap bunga santun

sebelum senja di Tanjung Pura

Amir dan Kemala bertukar Seloka

Antara kasih dan maut

cakaran hanya memagut

Walau (Sutardji Calzoum Bachri)

1979

walau penyair besar

takkan sampai sebatas allah

dulu pernah kuminta tuhan

dalam diri

sekarang tak

kalau mati

mungkin matiku bagai batu tamat bagai pasir tamat

jiwa membumbung dalam baris sajak

tujuh puncak membilang bilang

nyeri hari mengucap ucap

di butir pasir kutulis rindu-rindu

Walau huruf habislah sudah

Alifbataku belum sebatas allah

Ibunda (WS Rendra)

Engkau adalah bumi, Mama

aku adalah angin yang kembara

Engkau adalah kesuburan

atau restu atau kerbau bantaian.

Kuciumi wajahmu wangi kopi

dan juga kuinjaki sambil pergi

kerna wajah bunda adalah bumi

Cinta dan korban tak bisa dibagi.

AKAN KE MANAKAH ANGIN (Emha Ainun Nadjib)

Akan ke manakah angin

Tatkala turun senja yang muram

Kepada siapa lagu kuangankan

Kelam dalam kabut, rindu tertahan

Datanglah engkau berbaring di sisiku

Turun dan berbisik dekat di batinku

Belenggulah s’luruh tubuh dan sukmaku

Kuingin menjerit dalam pelukanmu

Sampai manakah berarak awan

Bagi siapa mata kupejamkan

Pecah bulan dalam ombak lautan

Dahan-dahan di hati bergetaran

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.